Jumat, 04 November 2016

Catatan Perjalanan Menuju Atap Sulawesi Gunung Latimojong Puncak Rantemario

Foto bersama di Puncak Rantemario
Via jalur BONE-BONE, kutapaki langkah sepatu menuju Puncak Rantemario.
Bermodalkan semangat, fisik, dan mental serta logistik seadanya tak membuat saya patah semangat untuk kembali duduk di trangulasi, titik tertinggi Sulawesi. Hampir 2bulan mempersiapkan fisik itu lebih dari cukup, dan beberapa cerita dari senior saya di organisasi semakin membuatku semangat. Dari beberapa cerita beliau, satu yang aku pahami mendaki Puncak Rantemario via BONE-BONE jalurnya memang pendek tapi sangat terjal dan persediaan air yang begitu minim. Apalagi BONE-BONE yang dikenal dengan kawasan bebas asap rokok pertama di dunia, bagi saya mungkin hal wajar karena saya memang bukan perokok. Lalu, bagaimana dengan mereka yang memang perokok aktif. Menahan cuaca dingin, dengan tidak merokok mungkin suatu hal yang susah. Tapi, sebagai pendatang kami harus tetap menghargai peraturan dusun tersebut. Sanksi yang mereka berikan tidak tanggung-tanggung, kena sanksi atau tinggal di dusun tersebut selama seminggu mengabdi, dalam artian kami harus membantu mereka bekerja.
Sore itu, suasana kabut di dusun BONE-BONE seakan menjadi  tanda kalau warga setempat menerima kedatangan saya dan peserta Kenal Medan (KM GH TWKM 28). Setelah istirahat sekitar satu jam di dusun BONE-BONE, saya mulai melanjutkan perjalanan. Begitupun dengan panitia dan peserta KM GH TWKM 28, mulai melanjutkan perjalanan secara tertib. Mendaki via jalur BONE-BONE adalah sesuatu yang pertama kali buat saya, selama ini saya hanya mendaki ke Puncak Rantemario via jalur karangan. Cuaca dingin mulai menusuk, awan gelap bertanda hujan akan turun. Saya mulai mempercepat langkah kaki, begitupun dengan mereka para panitia dan peserta KM GH TWKM 28. meskipun terkadang saya mendengar, mereka teriak "Mantul  jalurnya panitia" saya pribadi hanya bisa tersenyum. Sampai di dusun pendokesan, saya dan beberapa panitia cewek. Sebut saja, Kak Fitri atau biasa dipanggil Kak Cuicui, kak Tambora, dan saudara saya Syifa segera mendirikan tenda untuk tempat kami memasak, ganti baju, dan paling penting istirahat agar besok saat bangun, badan kembali fit.
Esok harinya, setelah makan saya kembali mengepack barang-barang  pribadi saya. Ganti baju dan memakai sepatu, begitupun dengan yang lainnya. Saya yang sudah siap untuk melanjutkan perjalanan, sesekali mengambil gambar sebagai dokumentasi pribadi saya. Bagaimana kabar peserta dan panitia yang dari kemarin sore tidak merokok? Sesekali saya mendengar mereka, "Wuuii, ada asap ini. merokok deh, nda kentaraji mungkin." atau "Panitia, bisami merokok?" Lagi-lagi saya dan panitia yang lainnya harus sabar menjelaskan peraturan di dusun tersebut. Dan, Alhamdulillah mereka masih bisa mengerti. Pukul 08.00 WITA, saya dan peserta KM GH TWKM 28 melanjutkan perjalanan. Berbekal air yang cukup, saya mulai berjalan bersama peserta yang lainnya. Melewati punggungan, melewati tanjakan yang licin membuat saya semakin semangat. Tidak ada yang lain di pikiranku, hanya satu. Berapa jam kira-kira kami akan berjalan, bagaimana medannya, persediaan air kami cukup tidak. Dan, bisakah saya sampai puncak? Tapi, keyakinan dan kemauan yang selalu menjadi semangat saya. Segala sesuatu jika dijalani sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang maksimal pula. Dingin mulai menemani langkah saya mendaki puncak Rantemario. Langit pun seperti tak mau kalah, gelap dan gerimis. Berjalan melewati punggungan , naik turun puncak sesekali membuatku lelah dan ingin istirahat setidaknya membuat teh hangat. Hmmm.. jika membayangkannya , inginku segera sampai ke puncak bersama mereka. Menikmati suasana puncak, berphoto bersama mereka. Tapi lagi-lagi kami harus tetap berjalan, untuk sampai ke puncak sana. Setidaknya saya harus tiba di camp bersama panitia lainnya dan peserta sebelum larut malam. Meskipun lelah, Alhamdulillah tiba di camp juga. Ganti baju dan istirahat, cuman itu yang ada dipikiran saya. Memikirkan makan pun, tak ada.
Pagi pun tiba kembali berjalan dengan keadaan tubuh yang sehat adalah keinginan saya yang paling utama. Mengabadikan setiap moment, berphoto dengan mereka adalah suatu hiburan selama pendakian. Minum kopi dan duduk di depan api unggun, sungguh sangat mengasyikan. "Adakah?" kata-kata itulah selalu menjadi awal perbincangan , entah maksudnya apa? Saya hanya bisa ketawa. Kembali berjalan keesokan harinya, membuat saya sendiri selalu berpikir "kapan sampainya? brapa jam lagi harus berjalan? ada berapa puncak lagi yang harus didaki?" Tapi saya pribadi selalu d ajarkan, tidak ada yang mustahil selama usaha. Berjalan bersama peserta , sesekali terdengar dan bertanya "Mbak, ini masih jauh? jangan php dong mbak." Saya pribadi merasa tidak enak, saya sendiri merasakan bagaimana tidak enaknya di PHPin. "Dekatmi mbak, semangat saja nah!! setelah puncak ini, terlihat mih itu Titik ketinggian Puncak (tiranggulasi) jawabku. Saya kembali berjalan, berharap setelah puncak ini tirangulasi akan kelihatan. Dan memang, benar! Salah seorang saudaraku, sebut saja Elang teriak "Tinggal 5 langkah lagi sodara, apaji!! Anggun bede'..." kata2 itu selalu menjadi motifasi saya. Memaksakan kaki berjalan , tidak membuat saya manja, melawan malas itu salah satu motifasi saat Mapraba saya. Aku lihat mereka, sedang sibuk berphoto-photo dengan menggunakan toga, bersyukur kepada yang Maha Kuasa, setelah beberapa hari Akhirnya sampai juga di Puncak Rantemario. “Rantemario via Bone-bone, ternyata saya juga bisa sampai...hehehee” kata dalam Hatiku.
Bersyukur? Iya bersyukur sekali.

Lelah? Iya sangat lelah

Puas? Sangat Memuaskan

Terima Kasih TWKM 28 Makassar. 
Biodata Penulis 

Nama : Sri Rahayu Wardani (AYU)
TTL   : Atapangge 17 Oktober 1991
Angkatan XXI Mapala UMI Makassar
 

Tidak ada komentar: