Foto bersama di Puncak Rantemario |
Bermodalkan semangat, fisik, dan mental serta logistik seadanya tak
membuat saya patah semangat untuk kembali duduk di trangulasi, titik tertinggi
Sulawesi. Hampir 2bulan mempersiapkan fisik itu lebih dari cukup, dan beberapa
cerita dari senior saya di organisasi semakin membuatku semangat. Dari beberapa
cerita beliau, satu yang aku pahami mendaki Puncak Rantemario via BONE-BONE
jalurnya memang pendek tapi sangat terjal dan persediaan air yang begitu minim.
Apalagi BONE-BONE yang dikenal dengan kawasan bebas asap rokok pertama di
dunia, bagi saya mungkin hal wajar karena saya memang bukan perokok. Lalu,
bagaimana dengan mereka yang memang perokok aktif. Menahan cuaca dingin, dengan
tidak merokok mungkin suatu hal yang susah. Tapi, sebagai pendatang kami harus
tetap menghargai peraturan dusun tersebut. Sanksi yang mereka berikan tidak
tanggung-tanggung, kena sanksi atau tinggal di dusun tersebut selama seminggu
mengabdi, dalam artian kami harus membantu mereka bekerja.
Sore itu, suasana kabut di dusun BONE-BONE seakan menjadi tanda kalau warga setempat menerima kedatangan
saya dan peserta Kenal Medan (KM GH TWKM 28). Setelah istirahat sekitar satu jam
di dusun BONE-BONE, saya mulai melanjutkan perjalanan. Begitupun dengan panitia
dan peserta KM GH TWKM 28, mulai melanjutkan perjalanan secara tertib. Mendaki
via jalur BONE-BONE adalah sesuatu yang pertama kali buat saya, selama ini saya
hanya mendaki ke Puncak Rantemario via jalur karangan. Cuaca dingin mulai
menusuk, awan gelap bertanda hujan akan turun. Saya mulai mempercepat langkah
kaki, begitupun dengan mereka para panitia dan peserta KM GH TWKM 28. meskipun
terkadang saya mendengar, mereka teriak "Mantul jalurnya panitia" saya pribadi hanya bisa
tersenyum. Sampai di dusun pendokesan, saya dan beberapa panitia cewek. Sebut
saja, Kak Fitri atau biasa dipanggil Kak Cuicui, kak Tambora, dan saudara saya
Syifa segera mendirikan tenda untuk tempat kami memasak, ganti baju, dan paling
penting istirahat agar besok saat bangun, badan kembali fit.
Esok harinya, setelah makan saya kembali mengepack barang-barang pribadi saya. Ganti baju dan memakai sepatu,
begitupun dengan yang lainnya. Saya yang sudah siap untuk melanjutkan
perjalanan, sesekali mengambil gambar sebagai dokumentasi pribadi saya.
Bagaimana kabar peserta dan panitia yang dari kemarin sore tidak merokok?
Sesekali saya mendengar mereka, "Wuuii, ada asap ini. merokok deh, nda
kentaraji mungkin." atau "Panitia, bisami merokok?" Lagi-lagi
saya dan panitia yang lainnya harus sabar menjelaskan peraturan di dusun
tersebut. Dan, Alhamdulillah mereka masih bisa mengerti. Pukul 08.00 WITA, saya
dan peserta KM GH TWKM 28 melanjutkan perjalanan. Berbekal air yang cukup, saya
mulai berjalan bersama peserta yang lainnya. Melewati punggungan, melewati
tanjakan yang licin membuat saya semakin semangat. Tidak ada yang lain di
pikiranku, hanya satu. Berapa jam kira-kira kami akan berjalan, bagaimana
medannya, persediaan air kami cukup tidak. Dan, bisakah saya sampai puncak?
Tapi, keyakinan dan kemauan yang selalu menjadi semangat saya. Segala sesuatu
jika dijalani sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang maksimal pula. Dingin
mulai menemani langkah saya mendaki puncak Rantemario. Langit pun seperti tak
mau kalah, gelap dan gerimis. Berjalan melewati punggungan , naik turun puncak
sesekali membuatku lelah dan ingin istirahat setidaknya membuat teh hangat.
Hmmm.. jika membayangkannya , inginku segera sampai ke puncak bersama mereka.
Menikmati suasana puncak, berphoto bersama mereka. Tapi lagi-lagi kami harus
tetap berjalan, untuk sampai ke puncak sana. Setidaknya saya harus tiba di camp
bersama panitia lainnya dan peserta sebelum larut malam. Meskipun lelah,
Alhamdulillah tiba di camp juga. Ganti baju dan istirahat, cuman itu yang ada dipikiran
saya. Memikirkan makan pun, tak ada.
Pagi pun tiba kembali berjalan dengan keadaan tubuh yang sehat
adalah keinginan saya yang paling utama. Mengabadikan setiap moment, berphoto
dengan mereka adalah suatu hiburan selama pendakian. Minum kopi dan duduk di
depan api unggun, sungguh sangat mengasyikan. "Adakah?" kata-kata itulah
selalu menjadi awal perbincangan , entah maksudnya apa? Saya hanya bisa ketawa.
Kembali berjalan keesokan harinya, membuat saya sendiri selalu berpikir
"kapan sampainya? brapa jam lagi harus berjalan? ada berapa puncak lagi
yang harus didaki?" Tapi saya pribadi selalu d ajarkan, tidak ada yang
mustahil selama usaha. Berjalan bersama peserta , sesekali terdengar dan
bertanya "Mbak, ini masih jauh? jangan php dong mbak." Saya pribadi
merasa tidak enak, saya sendiri merasakan bagaimana tidak enaknya di PHPin.
"Dekatmi mbak, semangat saja nah!! setelah puncak ini, terlihat mih itu Titik
ketinggian Puncak (tiranggulasi) jawabku. Saya kembali berjalan, berharap
setelah puncak ini tirangulasi akan kelihatan. Dan memang, benar! Salah seorang
saudaraku, sebut saja Elang teriak "Tinggal 5 langkah lagi sodara, apaji!!
Anggun bede'..." kata2 itu selalu menjadi motifasi saya. Memaksakan kaki
berjalan , tidak membuat saya manja, melawan malas itu salah satu motifasi saat
Mapraba saya. Aku lihat mereka, sedang sibuk berphoto-photo dengan menggunakan
toga, bersyukur kepada yang Maha Kuasa, setelah beberapa hari Akhirnya sampai
juga di Puncak Rantemario. “Rantemario via Bone-bone, ternyata saya juga bisa
sampai...hehehee” kata dalam Hatiku.
Bersyukur? Iya bersyukur sekali.
Lelah? Iya sangat lelah
Puas? Sangat Memuaskan
Terima Kasih TWKM 28 Makassar.
Biodata Penulis
Nama : Sri Rahayu Wardani (AYU)
TTL : Atapangge 17 Oktober 1991
Angkatan XXI Mapala UMI Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar